[4 Maret 2016]
Banyak orang beranggapan bahwa jalan menuju kesuksesan
tidaklah mudah. Namun tidak demikian bagi Gede Prama. Menurut penulis sekaligus
mantan CEO perusahaan besar itu, keberhasilan seseorang bersumber dari
keyakinannya dalam menjalani hidup. Prinsip ini pula yang terus dipegangnya
hingga berhasil membawanya pada puncak kesuksesan. Alhasil, di usianya yang
baru 38 tahun, Gede Prama telah menduduki jabatan tertinggi dalam sebuah
perusahaan dengan memimpin ribuan karyawan.
Pria kelahiran 2 Maret 1963 ini berasal dari sebuah desa
kecil bernama Tajun yang terletak
di Bali Utara. Ia tumbuh dalam keluarga yang
sederhana. Sejak kecil ia merupakan sosok yang patuh akan hukum adat yang
berlaku di lingkungannya. Jiwa pemberontak jauh dari kepribadiannya. Ini
terlihat ketika orangtuanya sering mengumpulkan anak-anaknya untuk diberikan
wejangan, Gede Prama selalu mendengarkan wejangan yang disampaikan orangtuanya
dengan baik untuk diterapkannya di kemudian hari.
Gede Prama memulai kariernya di lahan pengetahuan dan
profesi yang sarat sains dan praktik manajemen. Namun dalam kiprah selanjutnya,
ia lebih menerapkan pendekatan spiritual dalam pengembangan organisasi maupun
bisnis.
Hanya dengan bermodalkan keyakinan serta tekad yang kuat,
alumni Universitas Leicester dan INSEAD ini datang ke kota besar. Keyakinannya
membuahkan hasil, kini ia dikenal sebagai penulis sekaligus pimpinan sebuah
perusahaan swasta dan konsultan pada Dynamics Consulting yang bergerak di
bidang pengembangan SDM. Gede Prama juga menjadi salah seorang pembicara publik
yang paling diminati. Kata-kata yang keluar selalu dipikirkan masak-masak dan
meneduhkan bagi yang mendengarnya.
Ketekunannya sebagai konsultan membuatnya pernah menjadi
konsultan manajemen di RCTI, Blue Bird, PT Kodja Bahari, Air Mancur dan
lain-lain. Tak hanya itu, mantan karyawan sebuah perusahaan Jepang ini juga
berhasil mencatatkan namanya sebagai salah satu motivator kenamaan Tanah Air
sekelas Mario Teguh, Tung Desem Waringin dan lain-lain.
Berkat kesuksesannya, Gede kini hidup berkecukupan dengan
kekayaaan yang dimilikinya. Namun, kekayaan duniawi bukanlah menjadi sumber
kebahagiannya yang utama, melainkan cinta kasih dari keluarga tercinta yang
senantiasa tercurah untuknya. Selain keyakinan dan tekad, cinta kasih merupakan
faktor yang amat mempengaruhi jalan hidupnya. Ia tidak lagi menemui kegagalan
karena dalam kegagalan tak ada dalam kamus bahasa cinta.
Dalam kamus hidup seorang Gede Prama, seseorang bisa
mewujudkan keyakinan tanpa harus dibatasi oleh tembok apapun. Maka ketika
seseorang benar-benar ingin berpikir sehat demi kesuksesannya, ia harus
bersiap-siap berpikir keseluruhan tanpa batas. Tak mengherankan jika kini ia
tak suka mengagumi pemikiran mana pun secara berlebihan.
Gede Prama mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan
gagasan Unschooled Management. Gagasan yang menurut Gede, sebuah ekspresi
penghargaan atas sekolah. Pasalnya, seseorang yang berani mengkritiklah yang
akan membangun sebuah sekolah dan universitas.
Berkat keluasan pemikirannya, pria berpembawaan tenang ini
banyak dipercaya sebagai pembicara publik di berbagai forum nasional maupun
internasional. Sudah tidak terhitung banyaknya undangan mulai dari organisasi
keagamaan, perusahaan, maupun seminar tentang motivasi diri dan
bisnis. Perusahaan-perusahaan besar seperti BCA, Citibank,
World Bank, Unilever Global, Microsoft dan IBM tak segan menggelontorkan dana
yang tak sedikit demi mendatangkan dirinya. Kesibukan yang memaksanya harus
melanglang buana
Karena kedalaman berpikirnya, pria yang memperoleh gelar MBA
dari Institut Manajemen Prasetiya Mulya Jakarta ini disebut sebagai Resi
Manajemen oleh Infobank. Sedangkan oleh Media Indonesia, Gede dijuluki Stephen
Covey Indonesia. Warta Ekonomi menyebutnya Penggagas Unschooled Management.
Julukan yang disandangnya tak lantas membuat Gede terjebak
dalam puji-pujian itu. Bagi Gede, pujian maupun makian sama mematikannya. Yang
terpenting, ia selalu belajar untuk merangkul dua sisi kehidupan yang saling
membelakangi, sedih-bahagia, suka-duka dalam satu pelukan yang sama mesra.
Gede juga merupakan sosok pembicara publik yang bisa
berbicara lintas agama, terkadang ia berbicara di majelis taklim, vihara, serta
berbagai seminar pengembangan diri lewat jalur spiritual.
Ia juga terus belajar untuk mencapai pada titik keikhlasan
tertinggi. Jadi, apa pun usahanya, ia belajar supaya tetap berujung pada
keikhlasan. Dengan keikhlasan, orang tak akan terbelenggu pada keinginan akan
harta maupun tahta.
Pemahaman inilah yang membuat seorang kyai dari Jawa Timur
menyebut Gede seorang sufi. Padahal Gede seorang Hindu. Kesufian ini dipelajari
Gede Prama dari para pemikir dunia seperti Kahlil Gibran, Khrisnamurti, David
Bohm, Michael Fouclt, dan Morihei Ueshiba. Selain mempelajari karya-karya
filosofi, ia juga rutin berlatih meditasi. Dari latihan ini, ia mendapatkan
ketenangan yang memudahkannya mengembangkan pikiran positif dalam segala hal.
Selain menjadi pembicara publik, ia juga menuangkan gagasan
serta pemikirannya dalam lembaran-lembaran kertas. Ketekunannya berkarya
membuatnya sudah menghasilkan ribuan artikel, serta puluhan judul buku, dua di
antaranya dibuat dalam versi bahasa Inggris.
Buku-buku yang ditulisnya tak pernah lepas dari pemahaman
tentang kehidupan yang universal, seperti: Percaya Cinta Percaya Keajaiban,
Hidup Bahagia Selamanya, Sukses dan Sukses, Simfoni di Dalam Diri, Sadness,
Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing :
Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan, dan lain-lain. Pesan-pesan serta petuah
bijak yang disampaikannya membuat buku-buku Gede Prama kerap dijadikan bahan
renungan bagi para penikmat karyanya. Media cetak, internet, televisi dan radio
juga kerap menyebarkan pesan-pesan serta petuah bijaknya yang mengajarkan bagaimana
cara menjalani hidup dengan nilai-nilai positif. Di sela-sela kesibukannya
sebagai pembicara, Gede Prama juga menjadi penulis tetap di harian Kompas serta
majalah Info Bank.
Setelah mendapatkan segala kesuksesan di dunia, ia ingin
terus melakukan perjalanan menuju Tuhan. Ia tak ingin terus terikat pada tahta.
Ia juga tak ingin terjebak pada keberhasilan. Karena ikatan dan jebakan itulah
awal dari kegagalan hidup yang permanen. Gede Prama menyadari kehidupan di
dunia hanya bersifat sementara, oleh karena itu ia berusaha menyebarkan
pemikiran positif bagi sesamanya tentang keindahan hidup dengan karya-karyanya.
Kendati kesibukan telah membawanya ke berbagai tempat, Gede
Prama tak pernah melupakan tempat kelahirannya, Tajun. Di desa inilah ia
menghabiskan sebagian waktu menulis, bertaman, serta bermeditasi (mindfulness
training). Keberhasilan dan kenikmatan hidup tak lantas merubah kepribadian
Gede, hatinya pun masih tetap sama dengan ketika ia memulai perjalanan dari
Tajun. "Semua mau bahagia, tidak ada yang mau menderita," begitulah
ungkapan pria yang pernah belajar spiritualitas dari Dalai Lama.
Meski masih belum sempurna, Gede Prama yang sering menyebut
dirinya sebagai orang bodoh ini memberanikan diri untuk berbagi pesan tentang
tidak menyakiti, banyak menyayangi, mencintai semua mahluk, karena menurutnya
itulah yang membuat manusia berbahagia. Kegagalan dan kebodohan di masa lalu
dijadikannya sebagai media untuk terus belajar dan dari sana pulalah Gede Prama
menemukan sebuah kearifan. "Dalam setiap persoalan manusia, saya belajar
untuk mengurangi mencari siapa yang salah. Dan memusatkan perhatian untuk
memecahkan persoalan," ujarnya bijak.
Bila banyak orang mau belajar berhenti menyalahkan orang
lain, kemudian memusatkan perhatian pada pemecahan persoalan, menurutnya dunia
kerja bukanlah sesuatu yang menakutkan. Persoalannya, untuk bisa berhenti dari
kebiasaan buruk tadi, di samping kadang kurang didukung lingkungan, juga sering
dihadapkan oleh dorongan-dorongan dari dalam diri yang juga tidak mudah. Emosi,
ego, harga diri, gengsi, ketidaksabaran hanyalah sebagian kecil dari
dorongan-dorongan tadi. Namun, siapapun juga orangnya, menurut Gede, orang itu
membutuhkan deep meditation untuk mengelola dorongan-dorongan tersebut.
Deep meditation menurutnya, sebenarnya amatlah mudah. Ketika
lapar, makanlah secukupnya. Tatkala haus, minumlah semampunya. Manakala mata
mengantuk, tidurlah secukupnya. Dengan kata lain, hidup kita dengan seluruh
kesehariannya sebenarnya sebuah meditasi panjang. Bila kita melakukan meditasi
panjang ini dengan penuh ketekunan, kita yang menjadi pengelola tubuh dan jiwa
ini. Bukan sebaliknya, kita dikelola oleh tubuh.
Terlebih bagi mereka yang pekerjaannya merubah orang lain
atau memiliki tugas mulia memasyarakatkan nilai-nilai luhur. Dia katakan, sulit
membayangkan tugas-tugas ini bisa diselesaikan secara berhasil tanpa melalui deep
meditation. Ini juga sebabnya kenapa bertemu orang-orang tertentu kita mudah
segan, hormat, respek, dan perasaan sejenis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar