[8 Maret 2016]
Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution (lahir di
Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September
2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang
merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30
September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution
dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean.
Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan,
Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dari keluarga Batak Muslim. Ia
adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya
adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan
anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya, yang sangat religius, ingin
anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar
kedokteran di Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932,
Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan
studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru
secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam
membeli buku yang ditulis oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya.
Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di
Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia kadang-kadang
berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato. Setahun kemudian
Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia melanjutkan
mengajar, namun ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.
Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan
pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima
orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya
cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia
lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan. Pada bulan
September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi
sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische
Leger (KNIL). Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada
saat itu, Nasution di Surabaya, ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan
pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan
bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, ia kemudian membantu
milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi
tidak benar-benar menjadi anggota.
Divisi Siliwangi
Setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian
dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat
Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam
posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi
doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia pada masa depan.
Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang
dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk
Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa
Tengah.
Wakil Panglima
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR.
Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi
orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman. Nasution segera
pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, ia membantu
Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah
pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan
Belanda disetujui.
Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman
peran sebagai Panglima Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat
Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa Timur diambil alih oleh mantan Perdana
Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah
kabar itu sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan pertemuan antara perwira
militer senior. Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan ingin negosiasi
dilakukan. Soedirman kemudian menugaskan Letnan Kolonel Soeharto, untuk
menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Setelah melakukan perjalanannya,
Soeharto kembali ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa segala
sesuatu tampak damai. Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman
sedang sakit. Nasution sebagai Wakil Panglima kemudian memutuskan tindakan
keras, mengirim pasukan untuk mengakhiri pemberontakan komunis di sana.
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik
dari Divisi Siliwangi. Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya
dipenjara. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia
terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara. Pemimpin PKI lainnya
seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses
di Yogyakarta dan kemudian mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan
para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang
gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda,
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatera. Dalam
pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan Angkatan Darat
dan Teritorial Jawa. Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI
mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke
posisinya sebagai Wakil Panglima Soedirman.
Periode pertama
sebagai KSAD
Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala
Staf Angkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah
meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.
Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk
mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI. Dalam
pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk menciptakan tentara yang
lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional. Nasution dan Simatupang,
yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin melepaskan
para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih banyak
tentara yang dilatih oleh Belanda. Namun hal ini ditentang oleh Bambang Supeno
yang merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh Jepang.
Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang
mendapat dukungan dari Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengku
Buwono IX. Namun, Bambang Supeno berhasil menemukan dukungan dari kalangan
partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota DPR kemudian
mulai membuat perbedaan pendapat mereka tentang restrukturisasi ABRI. Nasution
dan Simatupang tidak senang melihat apa yang mereka anggap sebagai campur
tangan urusan militer oleh warga sipil.
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi
pasukan mereka dalam unjuk kekuatan. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan
militer, pasukan Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan
mengarahkan moncong meriam ke Istana. Permintaan mereka ke Soekarno adalah
mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk alasan ini, Nasution dan Simatupang
juga memobilisasi demonstran sipil. Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan
dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan
Simatupang telah dikalahkan.
Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa Agung
Suprapto. Pada bulan Desember 1952, mereka berdua kehilangan posisi mereka di
ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.
Fundamentals of
guerrilla warfare
Ketika ia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat,
Nasution menulis sebuah buku berjudul Fundamentals of Guerrilla Warfare. Buku
ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang dan
mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya buku
ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak
dipelajari pada perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada
subyek yang sama.
Periode kedua sebagai
KSAD
Pada 27 Oktober 1955, setelah tiga tahun pengasingan,
Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Dia segera mulai bekerja pada angkatan darat dan strukturnya dengan mengadopsi
pendekatan tiga kali lipat. Pendekatan pertama adalah untuk merumuskan sistem
tur tugas, sehingga perwira bisa ditempatkan di seluruh negeri dan mendapatkan
pengalaman. Pendekatan ini juga akan menghasilkan perwira militer yang lebih
profesional, bukannya merasa ikatan pribadi dan loyalitas ke provinsi dan
daerah dari mana mereka berasal. Pendekatan kedua Nasution adalah untuk
memusatkan pelatihan militer. Semua metode pelatihan pasukan sekarang akan seragam,
bukan komandan daerah yang menyiapkan metode pelatihan pasukan mereka sendiri.
Pendekatan ketiga dan yang paling penting adalah untuk meningkatkan pengaruh
militer dan kekuatan sehingga mampu mengurus dirinya sendiri, bukan
mengandalkan keputusan sipil. Nasution tidak memiliki masalah menerapkan dua
pendekatan pertama, tetapi ia harus menunggu untuk menerapkan pendekatan
ketiga.
Pada 1957, Presiden Soekarno mulai memperkenalkan konsep
Demokrasi Terpimpin untuk retorikanya dalam menanggapi kekecewaan dengan
pendekatan Demokrasi Parlementer yang telah diadopsi Indonesia sejak November
1945. Dalam hal ini, ia menemukan ikatan yang sama dengan Nasution dan tentara,
yang tidak lupa cara di mana warga sipil mengganggu urusan militer pada tahun
1952. Pada 14 Maret 1957, setelah menerima pengunduran diri Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo dan kabinetnya, Soekarno mengumumkan keadaan darurat.
Langkah ini tidak hanya mengakhiri peran seremonial Soekarno
sebagai presiden, tetapi juga meningkatkan pengaruh dan kekuasaan militer.
Dalam pengaturan ini, panglima daerah mampu mencampuri urusan sipil seperti
ekonomi dan masalah administrasi. Atas perintah dari Soekarno sendiri, tentara
juga mulai berpartisipasi dalam politik, mengisi posisi yang berkisar dari menteri
kabinet hingga gubernur provinsi dan bahkan anggota DPR. Pada bulan Desember
1957, Nasution semakin meningkatkan peran tentara dengan memerintahkan para
tentara untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang baru
dinasionalisasi. Selain meningkatkan peran tentara, langkah ini juga dirancang
untuk menghentikan pengaruh PKI yang semakin kuat.
Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato terkenal yang
akan menjadi dasar bagi doktrin Dwifungsi yang pada rezim Soeharto akan
diadopsi. Berbicara di Magelang, Jawa Tengah, Nasution menyatakan bahwa ABRI
harus mengadopsi "jalan tengah" dalam pendekatannya terhadap bangsa.
Menurut Nasution, ABRI tidak harus di bawah kendali sipil. Pada saat yang sama,
ABRI tidak boleh mendominasi bangsa dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah
kediktatoran militer.
Pemberontakan PRRI
Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di
Sumatera untuk otonomi yang lebih di provinsi-provinsi mereka. Ketika tuntutan
ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan mulai memberontak, dan pada
awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatera. Kemudian, pada
tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan pembentukan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hal ini mendorong
pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.
Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah
terlibat dalam memobilisasi pasukan ke Sumatera. Namun, kali ini Kolonel Ahmad
Yani yang ditugaskan memimpin pasukan kesana dan berhasil menumpas
pemberontakan.
Kembali ke UUD 1945
Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang
menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan kembali ke UUD 1945 yang asli. Sistem
demokrasi parlementer akan berakhir dan Soekarno sekarang adalah Kepala
Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara. Nasution diangkat menjadi Menteri
Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang posisi
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Keluarga dan akhir
hayat
Nasution menikah dengan Johanna Sunarti, bersamanya ia
memiliki dua anak perempuan, salah satunya adalah Ade Irma Suryani Nasution
yang tewas dalam peristiwa G30S/PKI. Istrinya meninggal pada tahun 2010 dalam
usia 87. Nasution sendiri meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta setelah
menderita stroke dan kemudian koma. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta Selatan.
Dari kisah pahlawan tersebut kita bisa belajar dari
perbuatan yang telah ia perbuat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar