
[13 Maret 2016]
Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29 Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014
Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said,
Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama
Nyai Latifah.
Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar
ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar
di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari
Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan, Madura, dan
Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim
Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk berguru kepada
Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan bapak Pendiri NU Selain
itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan
penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar
Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama
Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul
Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi
NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu
kalangan Tua dengan Muda.
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di
kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab
Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang ulama
yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan
berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah membentuk
kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta
yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang
diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan
yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik
perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu
dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang
dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren.
Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh
nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi
tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir
dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum
pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia
politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya,
Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama
dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan
kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab
Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang
kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai
Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai
Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan
membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin
Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa
keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan
mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim.
Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan
mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang
meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri
Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya
untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya
tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban
Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa
ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang
logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing
untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan
jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran
yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku
kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah
ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan
dari Fiqih sendiri.
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari
rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan
tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang
bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader.
KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan
modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah
tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun
setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul wshab
hasbulloh –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama
Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya
Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti
Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama
(ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah
—ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama
kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah
berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian
ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku
dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor
tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat
Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan,
menegakkan dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal
organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar
NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April
1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU
berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid
Hasyim, KH. Dachlan
[Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Wahab_Hasbullah ]
Dari kisah pahlawan tersebut kita bisa belajar dari perbuatan yang telah ia perbuat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar