[10 Maret 2016]
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah, pemilik nama pena
Hamka (lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73
tahun) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia melewatkan waktunya
sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui
Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar
doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka
sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik
Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka
sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di
Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun
melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padangpanjang membesarkan
Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah
karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut
keinginan Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka
mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka
merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama sementara
waktu di Medan. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan
tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan
sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan
majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya dalam Barisan
Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatera Barat
untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka
membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen
Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan
umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih
duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap
politik Maysumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi
hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5
Juli 1959, Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat tetapi berumur pendek,
dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang telah mengundurkan
diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring
meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi
kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk
dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai
tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Seiring peralihan kekuasaan ke Suharto, Hamka dibebaskan
pada Januari 1966. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah
di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid
Al-Azhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan MUI pada 1975, peserta
musyawarah memilih dirinya sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan
jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik
fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada
24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.
Masa kecil
Abdul Malik, nama kecil Hamka lahir pada 17 Februari 1908
[Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di sebuah dusun Nagari Sungai Batang yang
berada di tepian Danau Maninjau, Sumatera Barat. Hamka adalah anak sulung dari
empat bersaudara dalam keluarga ulama Abdul Karim Amrullah dari istri keduanya
Siti Shafiah. Keluarga ayahnya adalah penganut agama yang taat. Abdul Karim
Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang sebagai ulama pembaru Islam di
Minangkabau, putra dari Muhammad Amrullah. Adapun keluarga ibunya lebih terbuka
kepada adat. Pandangan ayah Hamka yang berbenturan dengan tradisi adat dan
amalan tarekat mendapat penolakan masyarakat—tetapi tidak melakukan
pertentangan terbuka karena menaruh hormat kepada Muhammad Amrullah yang
disegani sebagai pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Setelah Muhammad Amrullah
meninggal, ayah Hamka pindah ke Padangpanjang.
Malik masih berusia empat tahun ketika orangtuanya pindah ke
Padang. Ia melewati masa kecil di rumah anduangnya, nenek dari garis ibu.
Bersama teman-teman sebaya, Hamka kecil menghabiskan waktu bermain di Danau
Maninjau. Mengikuti tradisi anak-anak laki-laki di Minangkabau, Malik belajar
mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal. Pada usia enam
tahun, Malik diajak pindah ayahnya ke Padang Panjang, belajar mengaji pada
ayahnya sendiri. Malik sempat mendapatkan pengetahuan umum seperti berhitung
dan membaca saat masuk ke Sekolah Desa pada tahun 1915, tetapi berhenti setelah
tamat kelas dua. Lokasi Sekolah Desa berada di Guguk Malintang, menempati
kawasan tangsi militer sehingga memengaruhi pergaulan Malik. Hajir Rasul
berencana menyekolahkan Malik di Sekolah Gubernemen tetapi kelas telanjur
penuh. Malik kecil membawa perangai nakal karena sering menyaksikan perkelahian
antara murid kedua sekolah—karena murid Sekolah Gubernemen memandang rendah
murid Sekolah Desa.
Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama
Diniyah School yang menerapkan sistem kelas di Pasar Usang. Sambil tetap
belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia belajar setiap sore di Diniyah School.
Diniyah School mengajarkan bahasa Arab dan materi yang diadaptasi dari buku-buku
sekolah rendah Mesir. Namun sejak dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya pada
tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Ia belajar
di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan
malamnya kembali ke surau. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih
tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Kegiatan Hamka kecil
setiap hari yang demikian diakuinya membosankan dan mengekang kebebasan masa
kanak-kanaknya.
Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian
orangtuanya. Haji Rasul menceraikan Siti Shafiah dan membawa Malik tinggal di
Padangpanjang. Hari-hari pertama setelah perceraian, Malik tak masuk sekolah,
menghabiskan waktu berpergian berkeliling kampung. Ketika berjalan di pasar, ia
menyaksikan seorang buta yang sedang meminta sedekah. Malik yang iba menuntun
dan membimbing peminta itu berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan
sedekah sampai mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya memarahinya saat
mendapati Malik di pasar hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu
memalukan ayahmu." Malik pernah pula berjalan kaki menuju Maninjau yang
jauhnya 40 km dari Padangpanjang untuk memenuhi kerinduan terhadap ibunya.
Setelah lima belas hari Malik meninggalkan sekolah, seorang guru dari Thawalib
yang menyangka Malik sakit datang ke rumah, menyampaikan ketidakhadiran Malik.
Mengetahui anaknya membolos, Abdul Karim Amrullah marah dan menampar anaknya;
tetapi segera memeluk Malik dan meminta maaf.
Perceraian orangtua
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali
memasuki kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang
sebentar, berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk
bersiap pergi mengaji. Ketika ia menemukan bahwa gurunya Zainuddin Labay El
Yunusy baru saja membuka bibilotek, tempat penyewaan buku, Malik pergi menyewa
buku setiap hari. Setelah rampung membaca, biasanya Malik akan menyalin
versinya sendiri. Kadang Malik remaja mengirim surat cinta yang disadurnya dari
buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena kehabisan uang untuk
menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik Bagindo Sinaro tempat
koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung untuk mempekerjakannya. Ia
membantu memotong karton, membuat adonan lem sebagai perakat buku, sampai
membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia meminta agar diperbolehkan membaca
koleksi buku yang akan disewakan tersebut. Dalam waktu tiga jam sepulang dari
Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik mengatur waktunya agar punya waktu
membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi, ia diperbolehkan membawa buku baru
yang belum diberi karton untuk dikerjakan di rumah. Ayahnya yang sering
mendapati Malik membaca buku cerita sempat memberi pilihan, "Apakah engkau
akan menjadi orang alim nanti atau menjadi orang tukang cerita?" Setiap
mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik meletakkan buku cerita yang dibacanya,
mengambil buku agama dan berupra-pura membaca.
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh
seorang diri. Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, menempuh
perjalanan ke Maninjau mengunjungi ibunya. Namun, ia merasa tidak mendapat
perhatian sejak ibunya telah menikah lagi dengan seorang saudagar Aceh. Malik
didera kebingungan untuk memilih tinggal dengan ibunya atau ayahnya.
"Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah ibu, ada ayah tiri."
Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-anak muda Maninjau. Ia
turut berlajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah mendengar
kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik tradisional
Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan Payakumbuh,
sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda. Seorang pamannya,
Engku Muaro yang risau melihat sang kemenakan mengantar Malik mengaji dengan
seorang ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi saat
Malik berusia 14 tahun. Untuk pertama kalinya, Hamka hidup mandiri di Parabek.
Selama belajar di Parabek, Malik remaja mulai berlajar
memenuhi kebutuhan harian sebagai santri. Meskipun belajar membawakan diri,
kenakalannya masih terbawa. Malik pernah jail menakuti penduduk sekitar asrama
yang mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu. Karena tak
peraya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut hanya tahayul, Malik menyamar menyerupai
ciri-ciri hantu yang berwujud seperti hariamau. Dengan mengenakan serban dan
mencoret-coret mukanya degan kapur, Malik berjalan keluar asrama menyembunyikan
badannya dalam selimut yang tak terlihat karena malam. Orang-orang yang melihat
dan ketakutan keesokan hari berencana membuat perangkap, tetapi Malik segera
memberi tahu teman seasramanya tentang kejailannya, meyakinkan bahwa hantu
tersebut tidak ada.
Selama berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang
dibebaskan untuk keluar ke pasar membeli barang keperluan, pergi berkeliling
kampung sekitar Parabek. Waktu yang dinantikannya adalah menyaksikan perlombaan
burung balam di Kampung Durian. Sebelum perlombaan dimulai, diadakan pidato
sambutan dari setiap penghulu. Malik mendapati dirinya tertarik mendengar
pidato-pidato tersebut dan berikutnya mencari waktu saat pelantikan penghulu,
saat para tetua adat yang mahir berpidato adat berkumpul. Dari sana, Malik
mulai mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi dalam pidato
adat. Demi mendalami minatnya, ia mendatangi beberapa penghulu untuk berguru
pidato adat. Kecenderungannya ini kelak membuat keluarga ibunya mewariskan
gelar pusaka yang sudah lama tak dipakai, Datuk Indomo kepada Malik.
Perantauan
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana
ke sejumlah tempat di Minangkabau sehingga ayahnya memberi julukan "Si
Bujang Jauh". Dalam usia baru menginjak 15 tahun, Malik telah berniat
pergi ke pulau Jawa. Ia kabur dari rumah, pergi tanpa meminta izin ayahnya. Ia
hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari sana Malik memulai perjalanan
dengan bekal ongkos yang diberikan andungnya. Ia menempuh perjalanan melalui
darat dengan singgah terlebih dahulu di Bengkulu, berencana menemui kerabat
satu suku dari ibunya untuk meminta tambahan ongkos. Ketika sampai di pelabuhan
dekat Bengkulu, Malik yang merasakan tubuhnya panas sempat bermalam sampai dua
hari. Ia mendapat pertolongan dari seorang saudagar yang mengantarnya sampai ke
Ketahun. Dalam kondisi sakit, Malik meneruskan perjalan ke Napal Putih dan
setelah itu diantarkan ke kerabatnya, sementara tubuhnya mulai diserang cacar.
Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih, Malik dipulangkan ke
Maninjau. Ia menemui neneknya, sebelum pulang ke Padangpanjang. Bekas luka
cacar menyisakan bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik dihindari teman dan
kerabatnya.
Pada Juli 1924, Malik memulai perjalanannya ke Jawa. Malik
mengungkapkan keinginannya dan meminta restu kepada ayahnya untuk merantau,
berjanji akan belajar agama kepada Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dalam perhentian
pertama di Yogyakarta, Malik bertemu dengan pamannya Jafar Amrullah. Malik
mengambil waktu belajar kepada Bagoes Hadikoesoemo, mempelajari tafsir
Baidhawi. Setelah diperkenalkan dengan Sarekat Islam, ia bergabung menjadi
anggota dan mendapat kelas belajar kepada HOS Tjokroaminoto, Fakhruddin, dan
Suryopranoto. Malik mengikuti kelas dengan tekun, sering bertanya dan menyalin
pelajaran yang didapatnya. Dari keterlibatannya dengan perserikatan Islam,
Malik melihat perhatian umat Islam di Jawa terhadap pendidikan, berbeda dengan
di Minangkabau—karena telah seragam memeluk Islam—yang saat itu memperdebatkan
penyimpangan praktik Islam. Setelah melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta,
Malik meneruskan perjalanan ke Pekalongan, memenuhi janjinya untuk bertemu
kakak iparnya Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan
kesempatan mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di
depan umum. Menyusul ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional pada 1924,
ayahnya yang urung berangkat ke Mesir menyempatkan berkunjung ke Pekalongan,
meninggalkan pesan kepada Hamka agar kembali ke Padangpanjang untuk membantu
membendung penyebaran paham komunis. "Kamu harus terus berada di sini bagi
meneruskan tanggung jawab menjaga ummah," pesan ayahnya.
Saat kembali ke Padangpanjang, propoganda Partai Komunis
Indonesia telah memengaruhi murid-murid Thawalib. Malik menjalankan pesan
ayahnya. Ia menuangkan pengetahuannya ke dalam majalah Tabligh Muhammadiyah
yang dirintisnya. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan Bagindo Sinaro ikut
membantu pembuatan dan distribusi majalah. Pada saat yang sama, Malik harus
membagi waktu untuk berpidato, bolak-balik dari Maninjau ke Padangpanjang. Malik
mengambil kesempatan untuk tampil berpidato setiap ayahnya usai memberikan
tausyiah. Malik rutin berpidato di Padangpanjang. Ia masih menyempatkan
waktunya untuk memberikan pelajaran berpidato. Beberapa orang yang belajar
kepada Malik, membuat materi pidato sendiri yang akan dikumpulkan Malik untuk
diterbitkan dalam sisipan kumpulan pidato majalah Tabligh Muhammadiyah. Malik
melengkapi dan menyunting bagian pidato yang diterimanya sebelum diterbitkan,
tetapi tetap mencantumkan nama mereka sendiri. Dari kesibukannya menulis dan
menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan kemampuannya
dalam menulis.
Meskipun mendapatkan sambutan baik saat kepulangannya,
penerimaan masyarakat terhadap Malik adalah sebatas mubalig yang hanya
berpidato. Dalam membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik tidak fasih
karena tidak memahami tata letak bahasa, ilmu nahu dan sharaf. Hal tersebut
dikaitkan karena Malik tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Ia
pernah dikatakan sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah".
Ayahnya mengakui bahwa Malik masih belum cukup ilmu walaupun pandai berceramah
dan berdebat dalam hal agama. "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi
dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu
itu." Malik berasa kecil hati dengan sindiran ayahnya, merenung nasib
dirinya yang tak pernah tamat belajar meski telah berpindah-pindah sekolah.
Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padangpanjang, dibuka penerimaan guru.
Malik bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut melamar. Para
pelamar diharuskan mengisi formulir yang menerangkan nama, alamat, dan
pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan seperti diploma atau ijazah. Pada
hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai guru, Malik tidak lolos karena tidak
memiliki diploma. Hal ini menambah kekecewaan Malik sejak kepulangannya,
berpikir untuk kembali pergi meninggalkan kampung halamannya.
Menunaikan ibadah
haji
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan
perasaannya. Dari andungnya, Malik teringat bahwa saat kelaharinnya ayahnya
berjanji akan mengirimnya belajar ke Mekkah, tetapi Malik tak mendapati
persiapan ataupun tanda-tanda dirinya akan diberangkatkan. Ketika itu, umur
Malik menjelang 19 tahun, sedangkan ayahnya pergi ke Mekkah pada umur 16 tahun.
Dari sana, muncul keinginan Malik untuk pergi belajar ke Mekkah. Karena takut
kepada ayahnya, Malik menyampaikan niatnya kepada andungnya seorang. Dari hasil
menjual kapas milik andungnya, ia dapat berangkat menggunakan kapal laut.
Seorang pamannya, Engku Muaro dan beberapa temannya ikut membantu biaya
perjalanan. Pada Februari 1927 bertepatan dengan bulan Rajab, Malik memulai
perjalanan ke Mekkah. Ia memilih bulan Rajab karena bertepatan dengan
keberangkatan jemaah haji Indonesia. Dari Maninjau, ia menempuh perjalanan
darat sampai ke Padang karena keterbatasan ongkos.
Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah Syekh Amin
Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia mengambil pekerjaan sebagai pegawai
percetakan. Malik menyempatkan waktu istirahatnya untuk membaca buku-buku agama
yang terdapat di gudang percetakan. Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden
Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik
Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan
buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.
Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama
beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan
Hindia-Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada
calon jemaah haji asal Indonesia. Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama
tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan
hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk
segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut
pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan
lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim. Ia
pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun,
bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat
berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.
Karier di medan
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai
majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi.
Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung
dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.
Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan
menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada
tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam bahasa
Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai
redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di
Padang Panjang. Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain:
Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan
Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut
disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa
ketika itu.
Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah
berkali-kali berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh
Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput
dan membujuk Hamka pulang. Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka
luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau, sementara
rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926.
Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga
menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan
pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau
beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang
susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas
bungkal diasah." Mendapat sambutan sehangat itu, ia mulai sadar betapa
besar kasih ayahnya terhadap dirinya. Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap
ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang,
ia kembali meninggalkan kampung halamannya.
Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936. Di Medan, ia bekerja
sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan
Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman
Masyarakat. Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan
nama pena "Hamka". Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan
Ka'bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Setelah
Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam
Pedoman Masyarakat. Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan
buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur,
Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan
Falsafah Hidup. Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang
dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang, Hamka diangkat menjadi
penasihat Jepang dalam hal agama Islam. Ia juga diangkat sebagai anggota Syu
Sangi Kai (semacam DPR) untuk masalah pemerintahan dan keislaman pada tahun
1944. Ia menerima jabatan ini karena ia percaya dengan janji Jepang yang akan
memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun setelah menduduki jabatan ini, ia
justru dianggap sebagai kaki tangan penjajah oleh teman-temannya. Ketika Jepang
kalah lalu menyerah pada sekutu, Hamka menjadi sasaran kritik yang tak
berkesudahan. Inilah yang menyebabkan Hamka keluar dari Medan kembali ke
Minangkabau setelah perang revolusi pecah pada tahun 1945. Hamka juga turut
berjuang mengusir penjajah. Ia pernah ikut menentang kembalinya Belanda ke
Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan.
Muhammadiyah
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham, Hamka aktif dalam
kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari
perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai
Batang. Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah
agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun
1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.
Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia
diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres
berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang
Muhammadiyah di Bengkalis. Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh
Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat
rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Selama di
Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit
sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres
Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke
Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ke dalam
tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah
untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said. Namun pada Desember
1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut.
Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah
Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia rengkuh hingga
tahun 1949.
Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat
Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu,
ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun
1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur. Akan tetapi, ia
tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir
hayatnya
Menggial dunia
Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI,
kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga
itu, ia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan
dengan awal Ramadan.
Pada hari keenam dirawat, ia sempat menunaikan salat Duha
dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya, beberapa dokter
datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan bahwa ia berada dalam
keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai malam harinya. Tim
dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf sentralnya sudah tidak
berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu
jantung. Pada pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut
alat pacu jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah
itu.
Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli 1981 pukul
10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di
Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan
terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri
Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi
imam salat jenazahnya. Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi,
dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta
Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.
[Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah ]
Dari kisah pahlawan tersebut kita bisa belajar dari perbuatan yang telah ia perbuat...